Hot Posts

6/recent/ticker-posts

Tanah Carik Desa Cihanjuang Dirampok di Siang Bolong: BPN Membisu, Rakyat Dikorbankan Selama Dua Dekade!


FRN CIHANJUANG, KBB Senin 9 Juni 2025 – Sebuah skandal perampasan hak publik yang menganga selama dua dekade kini mencapai titik didih di Desa Cihanjuang, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat. 

Tanah carik desa seluas 2,75 hektare, yang seharusnya menjadi oase fasilitas publik bagi masyarakat—aula, GOR, taman, ruang bersama—kini secara absurd telah bersertifikat atas nama pribadi. 

Ini bukan sekadar sengketa tanah; ini adalah aib birokrasi, penistaan keadilan, dan bukti nyata bagaimana hak rakyat bisa digadaikan di hadapan mata.

Sejak tahun 2001, jeritan protes dari Pemerintah Desa Cihanjuang telah bergema, namun selalu terpental oleh tembok bisu birokrasi. 

Surat resmi terakhir yang dilayangkan ke Kepala Kantor BPN Bandung Barat pada 25 Februari 2025, tak lebih dari selembar kertas yang terbuang percuma. Jawabannya? Senyap. Tindak lanjut? Nihil. 

Hanya ada ruang hampa bernama “koordinasi” yang seolah menjadi kuburan massal bagi setiap harapan penyelesaian.

Ketika media mencoba mengorek kebenaran dari staf BPN, respons yang didapat hanyalah klise memuakkan: "Masih dikoordinasikan dengan Kanwil Jawa Barat.

" Berapa lama lagi "koordinasi" ini akan berlangsung? Apakah kepala kantor tidak tahu? "Sepertinya belum." Ini bukan jawaban, ini adalah tamparan telak bagi nalar publik. 

Ini adalah manuver penghindaran yang mencurigakan, mengindikasikan adanya patgulipat yang disembunyikan rapat.

Pertanyaan krusial yang terus membayangi masyarakat Cihanjuang adalah: Bagaimana mungkin tanah desa, aset bersama yang vital, bisa berpindah tangan dan bersertifikat atas nama perorangan? 

Siapa aktor di balik penjualan ilegal ini? Siapa yang memuluskan proses penerbitan sertifikat haram tersebut? 

Dan yang tak kalah penting, apakah ada oknum nakal di tubuh pertanahan pada masa lalu yang bermain kotor, merampas hak rakyat demi keuntungan pribadi? 

Keengganan BPN untuk bergerak, ditambah dengan diamnya instansi, hanya memperkuat dugaan adanya konspirasi busuk yang melibatkan lingkaran dalam kekuasaan.

Dua dekade! Waktu selama itu seharusnya cukup untuk membangun sebuah kota, namun di Cihanjuang, dua dekade hanya digunakan untuk membiarkan sengketa tanah berlarut-larut. 

Rakyat dituntut bersabar, sementara birokrasi BPN dengan angkuh bersembunyi di balik meja rapat dan tameng “prosedur” yang membingungkan. 

Ini bukan lagi soal administrasi, ini adalah pertarungan moral, ujian integritas, dan pertaruhan itikad baik BPN sebagai pelayan masyarakat. Jika satu kasus tidak bisa diselesaikan selama 20 tahun, lantas apa gunanya institusi ini?

Publikasi adalah jalan terakhir, teriakan lantang yang harus digemakan agar kebobrokan ini terkuak. Biar masyarakat luas tahu. Biar pejabat pusat, dari BPN Pusat hingga Istana Negara, tak bisa lagi berpura-pura buta dan tuli. 

Karena di balik selembar sertifikat ilegal itu, ada hak ribuan warga Cihanjuang yang dirampas, digerus, dan diinjak-injak. Diamnya BPN bukan hanya memperpanjang penderitaan, tapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap institusi negara.

Jika negara tidak mampu, atau lebih tepatnya, tidak mau menyelamatkan tanah rakyat dari cengkeraman mafia, maka rakyat sendiri yang harus bangkit dan bersuara. Kali ini, Cihanjuang tidak akan membisu. 

Kali ini, kami memilih untuk bersuara lantang, menuntut keadilan, dan mengambil kembali apa yang telah dirampas secara tidak sah! BPN, dengarkan! Hak rakyat bukan barang dagangan!


(Red).


Posting Komentar

0 Komentar