Jakarta FRN, 1 September 2025 — Bangsa Indonesia saat ini menghadapi krisis multi-dimensi yang telah memicu gelombang kekecewaan dan amarah publik. Luka-luka yang terakumulasi akibat serangkaian kejadian serius kini meluap menjadi amuk yang mengancam stabilitas sosial dan politik. Rilis ini menyoroti empat "luka dalam" yang mendesak untuk disembuhkan agar Indonesia dapat kembali menemukan jalannya.
Luka Pertama: Pemerkosaan Konstitusi
Pelemahan konstitusi, yang mencapai puncaknya dengan kasus 'pemerkosaan konstitusi' dalam isu pencalonan Gibran, telah menciptakan luka mendalam dalam tatanan ketatanegaraan. Meskipun publik berusaha memaafkan, ingatan akan pelanggaran ini tetap membekas. Kasus-kasus seperti dugaan 'ijazah palsu' adalah manifestasi dari luka batin ini, yang telah mengikis legitimasi politik dan kepercayaan rakyat terhadap sistem hukum dan pemerintahan.
Luka Kedua: Arogansi Aparat
Aparat penegak hukum, khususnya Polri, disoroti karena telah menjadi alat kekuasaan yang efektif, bahkan dalam urusan politik elektoral. Perilaku arogan, seperti penggunaan rotator dan sirine yang mengganggu, serta pendekatan represif dalam menangani demonstrasi, telah melukai rasa keadilan masyarakat. Puncaknya, tragedi meninggalnya Affan Kurniawan akibat dilindas mobil rantis Brimob, meninggalkan luka parah dalam ingatan kolektif bangsa. Dominasi aparat terhadap kekuatan sipil juga telah menumpulkan fungsi kritis organisasi kemasyarakatan (ormas) dan organisasi kepemudaan (OKP), membuat mereka kehilangan perannya sebagai penjaga moral dan suara rakyat.
Luka Ketiga: Kesenjangan Sosial dan Arogansi Pejabat
Jurang ketimpangan antara pejabat dan rakyat semakin menganga. Di saat rakyat kesulitan mencari pekerjaan dan tercekik berbagai pajak, para pejabat justru hidup bergelimang kemewahan dan fasilitas. Sikap dan ucapan yang tidak peka, seperti "Silakan kabur, tidak usah pulang" atau "Jangan samakan pejabat dengan rakyat jelata," semakin memperdalam luka rakyat. Selain itu, praktik rangkap jabatan, seperti penunjukan wakil menteri sebagai komisaris, dianggap sebagai bentuk ketidak-empati yang memicu kemarahan publik.
Luka Keempat: Runtuhnya Jangkar Moral
Ketika rakyat membutuhkan sandaran moral, institusi-institusi agama dan tokoh-tokohnya justru kehilangan legitimasinya. Mereka yang seharusnya menjadi suara nurani rakyat kini dianggap tunduk pada kekuasaan. Keterlibatan ormas keagamaan dalam konsesi tambang dan peran mereka sebagai 'juru bicara' pemerintah telah mengikis kepercayaan publik. Kondisi ini membuat upaya-upaya pemerintah untuk meredam amarah publik menjadi tidak efektif, karena pihak-pihak yang diajak bicara telah kehilangan kredibilitas moral.
Seruan untuk Tindakan Nyata
Luapan amuk publik yang tak terkendali adalah sinyal bahwa kondisi ini tidak bisa dibiarkan. Presiden harus segera mengambil langkah-langkah konkret dan meyakinkan untuk menyembuhkan luka-luka ini. Tuntutan publik yang telah lama disuarakan, mulai dari reformasi hukum hingga perbaikan ekonomi, perlu segera diakomodasi.
Waktu untuk beretorika telah usai. Rakyat menuntut tindakan nyata dari seorang negarawan yang tangguh, yang bertindak semata-mata demi kepentingan bangsa dan negara. Hanya dengan tindakan yang cepat dan tepat, kepercayaan rakyat dapat diraih kembali dan stabilitas dapat dipulihkan.
(Red).
0 Komentar