Dalam nota pembelaan pribadinya (Pledoi), Ranto menuding adanya oknum jaksa di Kejaksaan Negeri Cimahi yang diduga meminta uang sebesar Rp100 juta kepada saksi Abdul Rosid.
“Bahwa saudara Abdul Rosid pernah bercerita kepada saya terkait pemeriksaannya sebagai saksi di kejaksaan negeri cimahi, ia dimintai uang sejumlah Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) oleh oknum Jaksa Penuntut Umum, akan tetapi saudara Abdul Rosid hanya menyanggupi permintaan tersebut sebesar Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah), Uang itu diberikan langsung,” kata Ranto di hadapan majelis hakim dalam sidang di Pengadilan Tipikor Bandung, Jl. L.L.R.E. Martadinata No. 74-80, Bandung, Selasa, (20/5/2025).
Selain itu, Ranto menilai kasus yang menimpanya adalah bentuk kriminalisasi atas pesanan dari pengusaha besar (oligarki) yang merasa terganggu lantaran ia tindak tegas saat menegakan peraturan daerah.
Bahkan, Ranto menyebut proses hukum terhadap dirinya ini penuh rekayasa, tidak sinkron antara penyelidikan dan penyidikan sehingga proses hukumnya terkesan dipaksakan.
“Dalam surat penyelidikan disebut dugaan penyalahgunaan anggaran, tiba-tiba saat penyidikan berubah menjadi gratifikasi, ini jelas dipaksakan,” katanya.
Ranto juga membantah tuduhan terhadapnya yang memaksa para pelaku usaha untuk menggunakan jasa konsultan tertentu.
“Saya hanya merekomendasi itupun pelaku usahanya yang meminta secara langsung karena tidak paham alur pengurusan izin. Jadi kalaupun ada yang memberi uang, itu inisiatif konsultan, saya tidak pernah meminta,” ucapnya.
Selain menjadi korban dalam proses hukum, Ranto merasa menerima hukuman pengadilan sosial dari masyarakat. Istri dan anak-anaknya dicibir oleh masyarakat akibat stigma negatif yang berkembang.
“Keluarga saya akhirnya menjadi korban, mereka itu tidak salah, namun harus menanggung rasa malu. Seharusnya pengadilan itu adalah tempat untuk mencari keadilan, bukan malah menghukum orang karena pesanan,” ujar Ranto.
Sementara, kuasa hukum terdakwa Rizky Rizgantara mengatakan jika tuduhan terhadap kliennya lemah dan tak berdasar.
“Klien kami tidak pernah memaksa, mengarahkan, dan menerima gratifikasi dari siapapun. Tuduhan ini sangat lemah, tidak berdasar, dan mengada-ada,” tegas Rizky.
Rizky menganggap seluruh tuduhan tersebut kepada kliennya tidak disertai bukti kuat yang sah menurut hukum karena kliennya memiliki hubungan yang profesional dengan konsultan.
“Hubungan antara Ranto dengan konsultan murni profesional. Artinya tidak pernah ada paksaan, tidak ada arahan secara eksplisit, bahkan tidak ada permintaan imbalan. Apa yang disebut gratifikasi itu justru inisiatif dari pihak konsultan sendiri, tanpa sepengetahuan klien kami.
“Bahwa saudara Abdul Rosid pernah bercerita kepada saya terkait pemeriksaannya sebagai saksi di kejaksaan negeri cimahi, ia dimintai uang sejumlah Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) oleh oknum Jaksa Penuntut Umum, akan tetapi saudara Abdul Rosid hanya menyanggupi permintaan tersebut sebesar Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah), Uang itu diberikan langsung,” kata Ranto di hadapan majelis hakim dalam sidang di Pengadilan Tipikor Bandung, Jl. L.L.R.E. Martadinata No. 74-80, Bandung, Selasa, (20/5/2025).
Selain itu, Ranto menilai kasus yang menimpanya adalah bentuk kriminalisasi atas pesanan dari pengusaha besar (oligarki) yang merasa terganggu lantaran ia tindak tegas saat menegakan peraturan daerah.
Bahkan, Ranto menyebut proses hukum terhadap dirinya ini penuh rekayasa, tidak sinkron antara penyelidikan dan penyidikan sehingga proses hukumnya terkesan dipaksakan.
“Dalam surat penyelidikan disebut dugaan penyalahgunaan anggaran, tiba-tiba saat penyidikan berubah menjadi gratifikasi, ini jelas dipaksakan,” katanya.
Ranto juga membantah tuduhan terhadapnya yang memaksa para pelaku usaha untuk menggunakan jasa konsultan tertentu.
“Saya hanya merekomendasi itupun pelaku usahanya yang meminta secara langsung karena tidak paham alur pengurusan izin. Jadi kalaupun ada yang memberi uang, itu inisiatif konsultan, saya tidak pernah meminta,” ucapnya.
Selain menjadi korban dalam proses hukum, Ranto merasa menerima hukuman pengadilan sosial dari masyarakat. Istri dan anak-anaknya dicibir oleh masyarakat akibat stigma negatif yang berkembang.
“Keluarga saya akhirnya menjadi korban, mereka itu tidak salah, namun harus menanggung rasa malu. Seharusnya pengadilan itu adalah tempat untuk mencari keadilan, bukan malah menghukum orang karena pesanan,” ujar Ranto.
Sementara, kuasa hukum terdakwa Rizky Rizgantara mengatakan jika tuduhan terhadap kliennya lemah dan tak berdasar.
“Klien kami tidak pernah memaksa, mengarahkan, dan menerima gratifikasi dari siapapun. Tuduhan ini sangat lemah, tidak berdasar, dan mengada-ada,” tegas Rizky.
Rizky menganggap seluruh tuduhan tersebut kepada kliennya tidak disertai bukti kuat yang sah menurut hukum karena kliennya memiliki hubungan yang profesional dengan konsultan.
“Hubungan antara Ranto dengan konsultan murni profesional. Artinya tidak pernah ada paksaan, tidak ada arahan secara eksplisit, bahkan tidak ada permintaan imbalan. Apa yang disebut gratifikasi itu justru inisiatif dari pihak konsultan sendiri, tanpa sepengetahuan klien kami.
Kami menilai tuntutan jaksa tidak proporsional dan mengenyampingkan asas praduga tak bersalah,” lanjutnya.
Menurut Rizky, Pledoi terdakwa juga menguak fakta bahwa sejumlah saksi dari pelaku usaha seperti PT. Mount Scopus (The Harvest), Mayasari, hingga Kartika Sari, mengaku tidak merasa dipaksa menggunakan jasa konsultan, mereka hanya meminta arahan karena tidak paham prosedur.
“Saat pelaku usaha meminta arahan karena tidak paham soal izin, wajar jika aparat memberikan daftar kontak, itu pelayanan, bukan korupsi,” katanya.
Bahkan, kata ia tidak ada bukti jika kliennya meminta uang apabila melihat pengakuan dua konsultan yang mengaku memberi uang kepada Ranto setelah mendapatkan proyek.
“Kami ingatkan kembali asas in dubio pro reo yang berarti dalam keraguan, terdakwa harus dibebaskan. Kami minta majelis hakim menolak seluruh tuntutan dan membebaskan klien kami demi keadilan dan nurani hukum,” tutupnya.
Menurut Rizky, Pledoi terdakwa juga menguak fakta bahwa sejumlah saksi dari pelaku usaha seperti PT. Mount Scopus (The Harvest), Mayasari, hingga Kartika Sari, mengaku tidak merasa dipaksa menggunakan jasa konsultan, mereka hanya meminta arahan karena tidak paham prosedur.
“Saat pelaku usaha meminta arahan karena tidak paham soal izin, wajar jika aparat memberikan daftar kontak, itu pelayanan, bukan korupsi,” katanya.
Bahkan, kata ia tidak ada bukti jika kliennya meminta uang apabila melihat pengakuan dua konsultan yang mengaku memberi uang kepada Ranto setelah mendapatkan proyek.
“Kami ingatkan kembali asas in dubio pro reo yang berarti dalam keraguan, terdakwa harus dibebaskan. Kami minta majelis hakim menolak seluruh tuntutan dan membebaskan klien kami demi keadilan dan nurani hukum,” tutupnya.
(Red).
0 Komentar