FRN GARUT, 2 Juni 2025 – Para tokoh Sunda, termasuk Abah Kian Santang Majalaya (Ketua Padepokan Ngaji Diri Ngaji Rasa) dan Asep Sabda (Ketua Yayasan Sentral Kebudayaan Daerah SABDA) dari Garut, tengah mempersiapkan Musyawarah Besar (Sawala Luhung).
"Maung Sagara": Simbol Kepemimpinan Luas ala Dedi Mulyadi
Dalam keterangan persnya, Asep Sabda mengungkapkan bahwa musyawarah ini akan mengkaji secara mendalam sosok Dedi Mulyadi yang mereka gambarkan sebagai "Maung Sagara".
Istilah ini, kata Asep, adalah kiasan yang menggabungkan dua simbol kuat: "Maung" (Harimau) yang melambangkan wibawa, keberanian, kekuatan, kekuasaan, dan unsur mistik, dengan "Sagara" (Lautan/Samudra Luas) yang merepresentasikan kedalaman, ketidakterbendungan, dan misteri.
"Kang Dedi Mulyadi adalah Maung Sagara. Beliau Teuneung, Ludeung, Euweuh Kasieun Sabab aya dinu Bebeneran Ngaheuyeuh Dayeuh Ngolah Nagara (Berani, gagah, tidak takut karena ada dalam kebenaran memimpin kota mengatur negara)," jelas Asep Sabda, penuh keyakinan.
Menurut Asep Sabda, Dedi Mulyadi bukan sekadar "Maung Gunung" yang teritorialnya terbatas.
Sebaliknya, konsep "Maung Sagara" menyiratkan teritorial yang sangat luas, meliputi "dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote".
Hal ini mengisyaratkan bahwa Dedi Mulyadi dinilai sebagai pemimpin yang dipersiapkan untuk memimpin Nusantara atau Republik Indonesia.
Kajian Ilmiah dan Spiritual untuk Menyongsong Pemimpin Masa Depan
Kajian dalam Sawala Luhung ini akan memadukan pendekatan ilmiah dan non-ilmiah. Pendekatan ilmiah akan merujuk pada naskah-naskah kuno seperti pepatah "Hana Nguni Hana Mangke Tan Hana Nguni Tan Hana Mangke" yang menekankan pentingnya sejarah.
Tak hanya itu, aspek non-ilmiah atau ghaib juga akan menjadi bagian dari pembahasan, menunjukkan kedalaman pandangan para tokoh Sunda.
Para tokoh Sunda bahkan meyakini bahwa fase Dedi Mulyadi sebagai Gubernur Jawa Barat adalah "Sukma Panyukmaan", yang kemudian akan berlanjut ke fase "Nitis Pinitisan", dan puncaknya, menjadi Presiden Indonesia.
Pandangan ini diselaraskan dengan Wangsit Siliwangi, ajaran leluhur di Tanah Sunda, yang juga dikenal sebagai Maung Sagara atau Raja Sagara.
Harmoni Adat dan Agama untuk Kemakmuran Bangsa
Asep Sabda menambahkan bahwa gaya kepemimpinan Dedi Mulyadi yang mengedepankan Nilai Adat dan Budaya (Kearifan Lokal) atau Nilai Karta Nagara sangat relevan dengan kondisi saat ini.
Pendekatan ini disebut mampu menyentuh langsung masyarakat bawah, sejalan dengan tata nilai Sunda "Sili Asah Sili Asih Sili Asuh" yang berujung pada "Sili Wawangian"—saling memahami, mendukung, bahu-membahu, dan tolong-menolong.
Bersamaan dengan itu, Nilai Kerta Gama atau Keagamaan dianggap sebagai pegangan hidup dan nilai spiritual. "Kombinasi Nilai Kerta Nagara dan Kerta Gama sangat efektif dilakukan saat ini.
Bangsa Indonesia merindukan tatanan negara yang berkeadilan menuju kemakmuran bersama, sesuai amanat UUD 1945," pungkas Asep Sabda, menegaskan harapannya akan kepemimpinan yang dapat membawa bangsa menuju kesejahteraan.
(Red).
0 Komentar